LAZISNU, sebagai Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama, memiliki tugas vital dalam menghimpun zakat dan sedekah serta mentasharufkannya kepada mustahiq. Namun, tugas ini kini menghadapi tantangan seiring perubahan zaman dan berubahnya pola kekayaan di masyarakat.
Fikih klasik umumnya hanya mengakui enam jenis harta yang wajib dizakati, karena harta tersebut dianggap berkembang (nama’) dan pemiliknya dianggap kaya (mazhinnat al-ghina). Namun, saat ini, banyak sumber kekayaan baru yang nilainya fantastis tetapi belum terjangkau fikih klasik. Sementara itu, sektor konvensional seperti pertanian, yang lahannya tidak luas dan keuntungannya menipis, masih dibebani zakat 5–10% dari produk kotor (bruto).
Untuk merespons dinamika zaman ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melalui Komisi Maudhu’iyyah (Isu Tematik) Munas NU 2025 memandang bahwa perumusan pemahaman yang utuh mengenai ‘Illat (sebab hukum) dan Maqashid (tujuan utama) Zakat adalah hal yang sangat relevan dan mendesak.
Sifat Zakat: Harmoni Ibadah (Ta’abbudi) dan Rasionalitas (Ta’aqquli)
Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, adalah ibadah yang bersifat kepatuhan murni (ta’abbudi). Namun, zakat juga memiliki sisi rasional (ta’aqquli).
Hal ini dikarenakan zakat tidak hanya sekadar hubungan vertikal dengan Allah SWT, tetapi juga menyangkut hak manusia (haq adami). Zakat dan sedekah adalah ibadah kepada Allah di satu sisi, dan di sisi lain, memberi manfaat kepada hamba-Nya.
Pilar ‘Illat Zakat: Pertumbuhan dan Kecukupan Harta
Dalam fikih, ‘illat adalah sebab utama diwajibkannya suatu hukum. Banyak sumber yang mengidentifikasi dua unsur sentral yang menjadi ‘illat zakat:
A. Al-Nama’ (Berkembang atau Berpotensi Berkembang)
Al-Nama’ (pertumbuhan) atau potensi pertumbuhan adalah unsur penting dalam menentukan harta wajib zakat.
- Harta yang berkembang dengan sendirinya (seperti pertanian, perkebunan, hewan ternak, dan tambang).
- Harta yang memiliki potensi untuk berkembang (seperti dirham, dinar, dan barang-barang perdagangan).
Penyebutan qiyas (analogi) untuk zakat dagang—bahwa harta tersebut diharapkan bisa berkembang (mal yubtagha fihi an-nama’)—adalah indikasi kuat bahwa al-nama’ (berkembang) dan murshad lah (potensi berkembang) adalah ‘illat diwajibkannya zakat.
Penting untuk dicatat, agar sifat al-nama’ terpenuhi, harta tersebut tidak digunakan untuk pemakaian pribadi (non-bisnis). Inilah mengapa batu mulia selain emas dan perak umumnya tidak wajib zakat, karena disiapkan untuk dikenakan sebagai perhiasan.
B. Al-Ghina (Kekayaan atau Kecukupan)
Kewajiban zakat disyariatkan atas orang yang memiliki harta. Hal ini diperkuat hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa zakat diambil dari orang-orang yang kaya (aghniya’) dan diserahkan kepada orang-orang miskin (fuqara’).
Penetapan nishab (batas minimum harta wajib zakat) oleh ulama adalah upaya untuk merumuskan al-ghina (kecukupan kekayaan) sebagai ‘illat wajibnya zakat.
Maqashid Zakat: Membangun Solidaritas Sosial
Tujuan utama (maqashid) disyariatkannya zakat adalah untuk mencapai dimensi sosial dan spiritual yang lebih tinggi.
- Al-Muwasah (Solidaritas Sosial): Tujuan zakat adalah untuk saling membantu dan kebersamaan dalam suka dan duka sesama manusia. Zakat adalah hak yang diwajibkan Allah dalam harta orang kaya untuk bersimpati (muwasah) kepada saudara-saudara yang membutuhkan. Bahkan Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa di dalam harta orang kaya terdapat “hak” orang-orang miskin.
- Tazkiyatun Nafs (Penyucian Diri): Zakat juga bertujuan melatih diri agar tidak bergantung pada sifat-sifat duniawi. Ketergantungan pada harta dapat menjadi penyebab kezaliman (thughyan) dan kerusakan, sehingga zakat melatih diri dengan mengurangi harta.
Kesimpulan dari Munas NU 2025: Tujuan utama disyariatkannya zakat adalah agar saling tolong-menolong (at-ta’awun) dan membangun solidaritas sosial (al-muwasah al-ijtima’iyyah) yang kokoh, sehingga ketidakadilan sosial ekonomi dapat dikurangi.
Dengan memahami bahwa zakat diwajibkan karena potensi pertumbuhan harta (al-nama’) dan kecukupan kekayaan (al-ghina), serta tujuannya adalah solidaritas sosial (al-muwasah), maka perluasan cakupan zakat ke sumber-sumber kekayaan baru yang fantastis di era modern memiliki landasan syar’i yang kuat.
Mari wujudkan maqashid zakat ini dengan menunaikan zakat, infak, dan sedekah Anda melalui LAZISNU. Dana yang terkumpul akan kami tasharufkan (salurkan) kepada mustahiq yang membutuhkan.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai ikhtiar kita dalam membangun solidaritas umat.
—–
Sumber: Keputusan Munas dan Konbes NU 2025

